Jumat, 07 Desember 2012

Parlemen Jalanan


Yayasan


Profile

Andi Achmad Mulya PG adalah Orang keturunan Bugis-Makassar yang lahir pada 28 November 1986. Seorang putra dari pasangan Firman A Massewali —seorang Pegawai Negeri Pemprov Sulsel — dengan Rosdiana AM Pegawai Negeri Pemkot Makassar Andi Achmad Mulya PG adalah anak ketiga dari lima bersaudara .

Pada Umur 5 Tahun tepatnya Tahun 1991 Mengenyam Pendidikan di Taman Kanak-kanak Nurul Falah . pada tahun berikutnya Menempuh pendidikan Sekolah Dasar pada SDN Cenderawasih . Tahun 1994 Andi Achmad Mulya PG dipindahkan bersekolah ke SDN Minasa Upa dan pada Tahun 1998 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Minasa Upa .


Sesudah lulus SDN maka Andi Achmad Mulya PG memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Makassar dan selesai pada Tahun 2001 , Selepas SMP kemudian Andi Achmad Mulya PG berhasil masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Kartika VII-1 Makassar dan Selesai pada Tahun 2004.

Ada hal baik yang di ukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Andi Achmad Mulya PG berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemudian pada tahun 2004 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar (STIEM) Bongaya
Di masa kuliah inilah Andi Achmad Mulya PG yang biasa di sapa Uyha menjadi aktivis kemahasiswaan dan Aktif bergelut di Organisasi Intra dan Ekstra Kampus.
Andi Achmad Mulya PG Menyelesaikan Jenjang Strata 1 pada STIEM Bongaya pada Tahun 2010 , dan Setelah menyelesaikan studi pada Kampus STIEM Bongaya di tahun 2010 juga di terima dan Lulus Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi Sulawesi-Selatan .
Di tengah-tengah aktivitas keseharian sebagai Abdi Negara Andi Achmad Mulya PG juga saat ini sedang Melaksanakan Studi pada program Pasca Sarjana Magister Management Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar .


N a m a : Andi Achmad Mulya , PG , S.E

Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang , 28 November 1986
Agama : Islam



Pengalaman Organisasi


1. Sekretaris Redaksi LPM Watak STIEM Bongaya

2. Sekretaris Umum Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Kom STIEM Bongaya
3.Pimpinan Fordiwak LPM Watak STIEM Bongaya
4.Pj.Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Kom STIEM Bongaya
5.Ketua Umum Partai Mahasiswa STIEM
6.Ketua Hipermata Komisariat STIEM Bongaya
7.Koordinator Advokasi Perhimpunan PERS Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar
8.Koordinator Front Aksi Mahasiswa (FAM) STIEM
9.Departement Pengembangan Organisasi Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Kota Makassar
10.Dewan Penasehat Organisasi LPM Watak STIEM Bongaya
11.Sekretaris Jenderal Pengurus Besar HIPERMATA
12.Direktur Gembok Demokrasi Institute Sulawesi-Selatan
13.Majelis Pekerja dan Konsultasi Pengurus Komisariat (MPKPK) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kom STIEM Bongaya
14.Ketua Komisi Organisasi Majelis Pekerja Mubes (MPM) Pengurus Besar HIPERMATA
15.Majelis Pekerja Musyawarah Komisariat (MPMK) Hipermata Komisariat STIEM Bongaya
16.Wakil Sekretaris SAPMA Pemuda PAncasila Kota MAkassar
17.Ketua Departement Pertanian,Kehutanan dan Lingkungan Hidup . Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Pemuda Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Sulawesi-Selatan
18.Wakil Sekretaris Pemuda Pancasila KAb Takalar
19.Ketua Bidang Pelajar SAPMA Pemuda Pancasila Sulawesi-Selatan
20.Dewan Pendiri Gembok Demokrasi Institute Sulawesi-Selatan.
21.Dewan Pendiri KLISE Makassar.

Senin, 30 Mei 2011

Jerat Neoliberalisme Rakyat Indonesia


Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat kita di Indonesia kebanyakan adalah kemiskinan yang terjadi akibat kebijakan dan sistem ekonomi yang diterapkan
pemerintah tidak mampu menyediakan atau mendorong terciptanya lapangan kerja yang layak dan memadai, jadi gejala kemiskinannya bersifat struktural

Setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di penghujung tahun 1997 sampai sekarang tampaknya
perekonomian kita belum juga pulih seperti sediakala. Setelah berkali-kali diadakan pemilu (pemilihan umum) legislatif dan eksekutif tapi janji janji saat kampanye dulu hanya menjadi buah bibir saja tanpa adanya realisasi. Kita masih juga dililit berbagai
persoalan seperti tingginya angka pengangguran dan makin meluasnya kemiskinan. Inilah bukti bahwa perekonomian kita yang belum juga benar-benar stabil.
                                 
Sebagian masyarakat tampak kecewa dan menilai kinerja dari pemerintah jauh dari harapan. Menurut hemat
penulis, faktor utama yang menyebabkan terasa lambannya kinerja pemerintah dalam mengatasi krisis adalah tidak adanya keleluasaan (kemandirian) pemerintah untuk mengambil keputusan terhadap persoalan itu terutama yang menyangkut keputusan sosio-ekonomi yang penting. Berbagai kebijakan ekonomi yang akan diambil pemerintah harus disesuaikan dan mendapat persetujuan dari lembaga ekonomi internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Indonesia sebagaimana negara-negara dunia ketiga miskin lainnya sudah terjerat pada sejumlah perjanjian
yang dibuat negara-negara industri maju dalam sebuah ideologi ekonomi yang disebut pasar bebas, globalisasi atau lebih tepatnya neoliberalisme. Seperti yang kita tahu bersama, sejak lama negara kita dalam membangun dan membiayai dirinya tergantung kepada utang dan pinjaman luar negeri yang berasal dari lembaga-lembaga keuangan tersebut.

Untuk memahami pengertian umum, neoliberalisme dapat diartikan sebagai cara-cara untuk mengusahakan
agar perdagangan antarbangsa menjadi lebih mudah. Maksudnya, mengusahakan barang-barang, sumber daya dan perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya mendapatkan sumber daya yang lebih
mudah, untuk memaksimalkan keuntungan dan efesiensi. Adapaun yang menjadi prinsip-prinsip dasar dari pelaksanaan neoliberalisme adalah sebagai berikut:

1. Aturan pasar: Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan
pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga, sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.

2. Memotong pengeluaran publik untuk
pelayanan Sosial: Ini ditujukan seperti terhadap sektor pendidikan
dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk jaring pengaman untuk
orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk
infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih, ini juga
guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak
menentang adanya subsidi dan manfaat pajak untuk kalangan bisnis.
                                3. Deregulasi: Mengurangi paraturan-
peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha
(swasta). 4. Privatisasi: Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan
jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis,
jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah dengan adanya swastanisasi
di kampus-kampus besar di Indonesia contohnya seperti yang terjadi
di kampus Instititut tekhnologi bogor, rumah sakit, bahkan juga air
minum (PDAM). Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar,
yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit
orang dan membuat publik membayar lebih banyak. 5. Menghapus konsep
barang publik: Menggantinya dengan tanggung jawab individual yaitu
menekankan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak
tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-
lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
                                Kalau kita cermati pengertian dan
cara kerja dari sistem ekonomi neoliberalisme saat ini, ternyata
telah begitu jauh menyimpang dari pemikiran ekonomi liberal klasik.
Landasan dasar pemikiran ekonomi liberalisme klasik dengan gagasan
anti naturalistik tentang pasar dan kompetisi. Konsep pasar (market)
dilihat sebagai salah satu dari berbagai macam model hubungan sosial
bentukan manusia. Pasar bukanlah suatu gejala alami seperti gempa
bumi atau musim semi, misalnya. Dalam gejala alami tersebut, bahkan
seandainya tidak ada manusia sekalipun hukum-hukum alami itu akan
tetap berlaku. Oleh karena pasar bukanlah gejala alami, maka pasar
dapat diciptakan dan dibatalkan menurut desain dari kehendak
manusia. Tidak ada ekonomi yang terpisah dari politik, sebagaimana
tidak ada politik yang terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja pasar
juga membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang bertugas
menciptakan sederet kondisi bagi beroperasinya keadilan dan
kompetitif.
                                Dampak Neoliberalisme
                                Kemiskinan yang terjadi dalam
masyarakat di Kabupaten Takalar terjadi akibat ekploitasi struktural
kasus-kasus kerakyatan tiap tahunnya selalu mengalami perkembangan
yang sangat signifikan rakyat terus saja menjadi tumbal akibat
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.kita semua pastinya masih
mengingat kasus perampasan tanah rakyat di Desa Pannyangkalang yang
saat itu diserahkan secara paksa untuk kepentingan perusahaan
pengembang tower telekomunikasi tanpa adanya ganti rugi.
Ketidakmampuan masyarakat mengakses kesehatan persoalan biaya yang
melambung tinggi seperti yang terjadi di Kecamatan Galesong beberapa
waktu lalu. Seorang masyarakat menderita penyakit aneh semacam
kutilan selama beberapa tahun tidak terobati karena terkendala
masalah finansial yang saat itu kasus ini menjadi sorotan media
nasional. Masih tingginya angka putus sekolah dan buta huruf. Dan
saat ini yang baru saja terjadi subsidi beras miskin (Raskin) yang
disalurkan pemerintah Kabupaten Takalar kembali disunat oleh oknum
kepala desa dan kepala kecamatan yang tidak bertanggung jawab dan
rakyat kecillah yang kemudian menjadi korban akibat ulah dari pihak
yang katanya sebagai pelayan dari masyarakat. Peranan legislalatif
pun yang mengontrol eksekutif tidak mampu berbuat banyak dalam
menjawab keresahan masyarakat.
                                Kemiskinan yang terjadi dalam
masyarakat kita di Indonesia kebanyakan adalah kemiskinan yang
terjadi akibat kebijakan dan sistem ekonomi yang diterapkan
pemerintah tidak mampu menyediakan atau mendorong terciptanya
lapangan kerja yang layak dan memadai, jadi gejala kemiskinannya
bersifat struktural. Kemiskinan struktural inilah kemiskinan yang
diderita oleh suatu golongan masyarakat yang karena struktur sosial
masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan
yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
                                Prinsip ekonomi pasar bebas secara
terang-terangan menolak campur tangan negara, seperti yang telah
dijelaskan diatas tadi liberalisasi yang terjadi hampir di tiap-tiap
sektor publik maka dengan demikian pasar dengan bebas dikendalikan
oleh pemilik modal. Sudah bisa diramalkan bahwa kelas bawah,
masyarakat miskin akan dieksploitasi dan nasibnya sangat tergantung
kepada kekuasaan kelompok kapitalis.
                                Peran negara sebagai regulator
dihilangkan menjadi semata-mata penyedia infrastruktur bagi
berputarnya roda-roda perekonomian. Pengeluaran negara untuk subsidi
kebutuhan dasar masyarakat dipangkas seperti pendidikan, kesehatan,
dan pertanian, yang kemudian imbasnya menyebabkan beban yang
ditanggung kelompok menengah-bawah semakin berat untuk dipikul.
Sebagai contoh, dengan dihapuskannya subsidi pupuk dan pestisida
bagi petani, menyebabkan biaya yang dikeluarkan tidak lagi sebanding
dengan hasil panen yang mereka peroleh dan kebijakan impor beras
dari pemerintah berimbas pada tidak mampunya beras lokal dan
bersaing harga dengan beras impor dan semakin susahnya rakyat miskin
untuk memperoleh jaminan kesehatan. Belum lagi kebutuhan bagi biaya
sekolah anak-anak yang meningkat, menyebabkan jutaan petani kita di
pedesaan mengalami penurunan mutu kehidupan atau meningkatnya
kemiskinan. Dalam kondisi yang demikian para petani yang hidup
dengan pola subsistensi (produsen), lalu berubah menjadi massa
konsumsi (konsumen) dan akhirnya membutuhkan barang-barang dan
produk impor dari negara-negara maju.
                                Peran dan tanggung jawab pemerintah
untuk layanan pendidikan masyarakat dihilangkan, bukan hanya
berdampak semakin tidak terjangkaunya pendidikan bagi orang miskin,
tetapi menyebabkan secara permanen pendidikan beralih menjadi lahan
baru untuk digarap oleh kaum kapitalis. Penerapan status BHMN di
sejumlah perguruan tinggi negeri menyebabkan kian tingginya biaya
kuliah dan semakin tersingkirnya orang miskin dari peradaban dan
kemajuan. Di daerah perkotaan, sudah sejak lama adanya keluhan akan
gejala komersialisasi pendidikan dengan tinggi tarifnya uang masuk
SD, SLTP, dan SLTA. Meskipun anggaran untuk sektor pendidikan
sebanyak 20 persen dari APBN ternyata saat ini belum mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat.
                                Sebuah perubahan dan fenomena ironis
dalam dunia pendidikan yang terjadi saat ini, bila dibandingkan
dengan zaman orde baru, yang justru pernah gencar-gencarnya dengan
program wajib belajar 9 tahun. Penyelenggaraan pendidikan swasta
telah bergeser dari tujuan mencerdaskan bangsa menjadi prilaku
bisnis yang mencari keuntungan. Kebijakan deregulasi dan privatisasi
oleh negara-negara dunia ketiga tidak lain bertujuan agar negara-
negara maju ikut ambil bagian (investasi dari kelebihan modal yang
dimiliki) memperoleh keuntungan. Pada era pemerintahan sebelumnya,
dengan alasan efesiensi sejumlah BUMN kepada investor asing,
termasuk di antaranya perusahaan yang mengatur hajat hidup pokok
rakyat, seperti listrik, air bersih, telekomunikasi, dan pabrik-
pabrik industri.

                         



ANDI ACHMAD MULYA SPIRIT BARU UNTUK SEBUAH PERUBAHAN